2/14/2010

Today A Reader, Tomorrow A Leader


Nazri, adik kampus tanya saya, apa yang perlu dia buat untuk jadi naqib?
Soalan yang sangat pro-aktif. Saya cukup kagum dengan sikap pro-aktif Nazri. Tak pernah saya tanya pimpinan ataupun naqib dengan soalan tu masa di sekolah mahupun di kampus. Pada diri Nazri, saya nampak beliau adalah 'bintang' pemimpin Islam yang cemerlang di masa depan!

Belajar Mengasihi, Rajin Membaca

Berdasarkan sedikit pengalaman, beberapa cadangan saya beri. Selepas belajar ambil peduli (caring), dan mengasihi orang lain, saya cadangkan supaya pertingkatkan diri dengan rajin-rajin membaca. Sebabnya, naqib adalah pemimpin.

Naqib bertanggungjawab memimpin anggota keluarga (usrah) supaya bukan sahaja jadi seorang mukmin, tapi mukmin yang mahukan orang lain juga jadi mukmin - pendakwah. Anggota usrah bukan saja rasa cukup dengan diri sendiri jadi mukmin, tapi mereka juga nakkan orang lain turut sama jadi mukmin.

Maksudnya, naqib adalah pemimpin bagi pemimpin!

Naqib: Pemimpin Bagi Pemimpin

Sebagai pemimpin, sepatutnya kita berjalan sekurang-kurangnya selangkah ke hadapan (one step ahead), dan anggota usrah mengikutnya dari belakang. Apa yang kita buat, pengikut perhatikan kita dari belakang seperti mana kita perhati dan mengikut imam dalam solat.

Secara idealnya, naqib adalah role model bagi seluruh anggota usrah. Dan anggota usrah mahu jadi lebih baik sebagaimana naqibnya!

Itulah yang saya fikir dulu. Saya cukup kagum dengan naqib-naqib saya di sekolah dan universiti.

Naqib Adalah Role Model

Ustaz Amir Ramadhan, Ustaz Rafie, Akhi Hisham Fauzi (KB), Akhi Adnan Rozob (Pahang), Akhi Ghazali (Sabah), Akhi Dzorif (Kuala Kangsar), dan Akhi Zabri (Putrajaya) adalah antara naqib (di sekolah dan universiti) yang saya kagumi. Dari mereka, saya bukan saja dapat ilmu Islam dan dakwah, tapi mereka telah memberi impak yang besar dari pelbagai aspek dalam kehidupan saya!

Dulu, saya adalah seorang introvert - sangat pemalu dan sangat rendah hati (tak yakin pada diri). Hinggakan nak daftar masuk universiti, saya minta mama yang daftarkan! Tak terlintas difikiran untuk saya keluar ke depan, dan bercakap di depan puluhan, bahkan ratusan hadirin.
Tapi melalui naqib, saya diberi keyakinan. Naqib membuatkan saya percaya pada kemampuan diri. Saya berlajar public speaking dari mereka. Saya dilatih untuk bercakap dalam majlis-majlis.

Naqib: Melatih 'Ayam' Menjadi 'Helang'!

Bermula dari bercakap di perjumpaan usrah-usrah yang kecil, hingga Allah beri kekuatan untuk saya jadi ahli Majlis Perwakilan Pelajar (MPP), dan Ketua Fasilitor Minggu Wawasan Siswa! Terpaksa berucap di depan ratusan pelajar, pensyarah-pensyarah, dan termasuk Pengarah dan Timbalan-timbalan Pengarah Kampus!

Oh, itu semua didikan Allah melalui insan-insan yang saya gelarkan "naqib".

Sungguh besar impak seorang naqib pada anggota usrah. Tanpa mereka, tak mungkin saya mampu memimpin organisasi-organisasi kecil dalam masyarakat hari ini. Tanpa mereka, saya tak mampu berucap dan berhadapan dengan para ibubapa anak-anak PASTI yang saya diamanahkan sebagai Pengurusnya...

Macam mana seorang naqib boleh memimpin dengan baik?

Today A Reader, Tomorrow A Leader

Antara attitude yang saya nampak pada naqib-naqib adalah mereka ada readers! Mereka rajin membaca. Bahkan banyak koleksi-koleksi kitab yang tersimpan dalam almari buku saya sekarang ni adalah atas cadangan naqib.

Akhi Dzorif (salah seorang naqib saya di kampus) sangat obses dengan membaca. Kalau ada bahan bacaan yang baru dibeli, ah mintak maaf. Jangan la potong line dia membaca. Selagi dia tak habis baca, memang kami (anggota usrah) tak dapat cilok (pinjam)! Dia benar-benar seorang readers!

Dan sikap yang ada pada beliau, hari ini melekat juga pada saya!

Anggota Usrah Meniru Naqib

Antara kelemahan saya bila ke kedai buku, ialah terbeli buku! Hinggakan isteri selalu 'merungut', "Abang beli buku baru lagi? Mana nak simpan? Almari buku tu pun dah penuh!"

Membaca dah jadi tabiat. Ke mana-mana pergi, saya tak selesa tanpa bawa buku untuk dibaca. Bukan saja dunia dakwah, bahkan dunia luar pun sama. Dalam apa bidang sekalipun, membaca tetap penting apabila kita memimpin.

Prinsipnya, seorang pemimpin, mestilah terlebih dulu jadi seorang yang rajin membaca. Membaca bukan sekadar membaca, tapi membaca dengan harapan untuk pertingkatkan diri. Sentiasa mencari ruang untuk pertingkatkan diri.

Dunia Kerjaya Pun Sama

Dalam dunia bisnes, mentor kami selalu tekankan supaya rajin membaca. Menurut beliau, kajian menunjukkan orang yang berjaya di dunia, membaca sekurang-kurangnya 14 buku setahun, tapi orang orang biasa hanya membaca tak lebih 2 buku setahun!
Sebab tu orang berjaya hidupnya luar biasa, dan orang biasa hidupnya biasa-biasa saja. Sebab tabiatnya terlalu biasa!

Untuk bulan ni, mentor kami cadangkan buku bertajuk "The 5 Secrets You Must Discover Before You Die" karangan John Izzo Ph.D. Saya baru saja dapatkan buku ni. Belum tahu apa kandungannya. Tapi yang pastinya, buku-buku yang dicadangkan semuanya untuk pertingkat diri kami sebagai hamba dan khalifah Tuhan di muka bumi!

Wallahu a'lam.

Perkongsian Daripada,

Zulkifli
Damansara Heights
8 Februari 2010
24 Safar 1431

2/07/2010

Khalifah Umar Al-Khattab : Pemimpin yang penuh bertanggungjawab

Khalifah Umar bin Khatab dikenal sebagai pemimpin yang sangat disayangi rakyatnya karena perhatian dan tanggungjawabnya yang luar biasa pada rakyatnya. Salah satu kebiasaannya adalah melakukan pengawasan langsung dan sendirian berkeliling kota mengawasi kehidupan rakyatnya. Inilah beberapa kisahnya.

Pada suatu malam hartawan Abdurrahman bin Auf dipanggil oleh Khalifah Umar bin Khattab untuk diajak pergi ke pinggir kota Madinah.
“Malam ini akan ada serombongan kafilah yang hendak bermalam di pinggir kota, dalam perjalanan pulang”, kata Khalifah Umar kepada Abdurrahman bin Auf.
“Lalu apa masalahnya?” tanya Abdurrahman.
“Kafilah ini akan membawa barang dagangan yang banyak, maka kita sebaiknya ikut menjaga keselamatan barang dari gangguan tangan-tangan usil. Jadi nanti malam kita bersama-sama harus mengawal mereka”, sahut sang Khalifah. Abdurahman dengan senang hati membantu dan siap mengorbankan jiwa raganya menemani tugas khalifah yang ia cintai ini.

Demikianlah sang khalifah menjalankan tugasnya, turun tangan langsung untuk memastikan rakyatnya tidur dan hidup dengan tenang. Bahkan malam itu khalifah Umar mendesak Abdurahman untuk tidur sambil siaga sementara ia sendiri tetap terjaga hingga pagi hari.

Khalifah Umar bin Khattab memang dikenal sebagai seorang pemimpin yang selalu melakukan perbuatan-perbuatan baik secara diam-diam. Orang yang ditolongnya sering tidak tahu, bahwa penolongnya adalah khalifah yang sangat mereka cintai.

Pernah suatu malam Auza’iy pernah ‘memergoki’ Khalifah Umar masuk rumah seseorang. Ketika keesokan harinya Auza’iy datang ke rumah itu, ternyata penghuninya seorang janda tua yang buta dan sedang menderita sakit. Janda itu mengatakan, bahwa tiap malam ada orang yang datang ke rumahnya untuk mengirim makanan dan obat-obatan. Tetapi janda tua itu tidak pernah tahu siapa orang tersebut! Padahal orang yang mengunjunginya tiap malam tersebut tak lain adalah adalah khalifah yang sangat ia kagumi selama ini.

Pada suatu malam lainnya ketika Khalifah Umar berjalan-jalan di pinggir kota, tiba-tiba ia mendengar rintihan seorang wanita dari dalam sebuah kemah yang lusuh. Ternyata yang merintih itu seorang wanita yang akan melahirkan . Di sampingnya, duduk suaminya yang kebingungan. Maka pulanglah sang Khalifah ke rumahnya untuk membawa isterinya, Ummu Kalsum, untuk menolong wanita yang akan melahirkan anak itu. Tetapi wanita yang ditolongnya itu pun tidak tahu bahwa orang yang menolongnya dirinya adalah Khalifah Umar, Amirul Mukminin yang mereka cintai.

Pada kisah lainnya, ketika sang Khalifah sedang ’meronda’, ia mendengar tangisan anak-anak dari sebuah rumah kumuh. Dari pinggiran jendela ia mendengar, sang ibu sedang berusaha menenangkan anaknya. Rupanya anaknya menangis karena kelaparan sementara sang ibu tidak memiliki apapun untuk dimasak malam itu. Sang ibupun berusaha menenangkan sang anak dengan berpura-pura merebus sesuatu yang tak lain adalah batu, agar anaknya tenang dan berharap anaknya tertidur karena kelelahan menunggu. Sambil merebus batu dan tanpa mengetahui kehadiran Khalifah Umar diluar jendela, sang ibupun bergumam mengenai betapa enaknya hidup khalifah negeri ini dibanding hidupnya yang serba susah. Khalifah Umar yang mendengar hal ini tak dapat menahan tangisnya, iapun pergi saat itu juga meninggalkan rumah itu. Malam itu juga ia menuju ke gudang makanan yang ada di kota, dan mengambil sekarung bahan makanan untuk diberikan kepada keluarga yang sedang kelaparan itu. Bahkan ia sendiri yang memanggul karung makanan itu dan tidak mengizinkan seorang pegawainya yang menemaninya untuk membantunya. Ia sendiri pula yang memasak makanan itu, kemudian menemani keluarga itu makan, dan bahkan masih sempat pula menghibur sang anak hingga tertidur sebelum ia pamit untuk pulang. Dan keluarga itu tak pernah tahu bahwa yang datang mempersiapkan makanan buat mereka malam itu adalah khalifah Umar bin Khatab !


SEPAHIT MADU ....... SEMANIS HEMPEDU

“Abang nak pi mana bang?” tanya Munirah kepada suaminya sambil tangannya ligat menyusun pakaian di dalam almari.

“Abang ada meeting. Susulan isu hina syari‘ah minggu lepas,” jawab Haikal sambil membetulkan butang baju Melayu di hadapan cermin.

“Meeting lagi bang?” si isteri bertanya, namun nada Munirah seolah-olah mengeluh atas kesibukan suaminya yang selalu bergiat aktif dalam pertubuhan Islam.

Tiada jawapan yang terbit dari mulut Haikal. Setelah beberapa ketika, Haikal mencapai fail di atas meja, lalu beredar begitu sahaja. Di sudut hatinya, dia memanjangkan doa kepada Allah SWT supaya isterinya diberikan kekuatan seperti kekuatan Siti Hajjar tatkala Nabi Ibrahim meninggalkan si isteri untuk menyahut perintah Ilahi.

Haikal tahu, betapa perit dirasakan oleh Munirah sejak mereka mendirikan rumahtangga. Haikal yang sudah berhenti daripada kerja lamanya semata-mata untuk memenuhkan waktu sehariannya dalam menjalankan kerja-kerja da‘wah, sedikit sebanyak menyebabkan isterinya itu bermuram durja hampir setiap hujung minggu. Namun, rajuk sang isterinya itu tidak melunturkan semangat Haikal untuk menjalankan tanggungjawab bersama-sama sahabat-sahabatnya yang lain.

Setelah bunyi kereta Kancil kepunyaan Haikal semakin hilang derumannya dari pintu rumah, Munirah segera berbaring di atas katil sambil memeluk bantal sekuat hatinya. Titisan air mata Munirah membasahi bantal tersebut meninggalkan sedikit kesan warnanya yang semakin gelap. Hatinya gundah, perasaannya kucar-kacir, emosinya terumbang-ambing. Entah kenapa dirasakannya hidupnya tidak bahagia setelah mendirikan rumahtangga bersama sahabat sejemaah. Saat-saat hidupnya dihabiskan dengan mengemas rumah, memasak, mencuci pakaian, dan melayan suaminya. Namun, hanya hampir suku hidup suaminya di rumah, bakinya bergiat aktif di luar. Bagi Munirah, perkahwinan tidak semanis yang digambarkan di dalam novel-novel dan cerpen-cerpen cinta.

Munirah tersentak. Dia segera bangun dan menuju ke sisi katil seraya membuka kotak berwarna merah yang berbalut kemas. Memorinya diulang-ulang bagi mengingati cerpen yang pernah dibacanya dahulu sebelum mengahwini Haikal. Dikeluarkannya buku-buku dari kotak tersebut sehingga tangannya tiba-tiba tersentuh sehelai kertas yang berbalut kemas dengan plastik. Munirah menggenggam kemas, lalu mengalihkan kerusi dibelakangnya bagi memberi ruang untuknya membaca.

Setelah Munirah bersandar di atas kerusi tersebut, dibacanya cerpen itu dengan penuh tumpuan. Selang beberapa minit, air mata Munirah mengalir lebih deras. Helaian kertas tadi dirapatkannya ke dada, mengharap supaya ketenangan menusuk kalbunya yang dirasakannya semakin sesak.

Haikal tiba di pejabat tempatnya bekerja lewat 10 minit. Setelah beberapa ketika, mesyuarat dimulakan dengan bacaan ayat suci surah al-Fatihah. Perbincangan tersebut semakin hangat setelah sahabat-sahabat Haikal mengutarakan perkembangan terkini isu yang sedang mereka tempuhi bersama-sama sahabat-sahabat daripada pertubuhan-pertubuhan Islam yang lain.

“Tak boleh jadi macam ni. Kena gandakan lagi usaha ni,” ujar Ramli, salah seorang sahabat Haikal yang rapat.

“Masalahnya kawan-kawan rapat kita pun tak bagi support. Siap tak mau jumpa ana lagi tu,” sambung Izham pantas.

Haikal mengaru-garu dahinya yang tidak gatal sambil menaikkan sedikit kopiah yang dipakainya. Dadanya terasa sempit. Di fikirannya terbayang masa-masa bersama isteri dan anaknya pada hujung minggu itu yang sudah dirancang minggu lepas. Sambil menghela nafas panjang, Haikal bersuara,

“Weekend ni kita kena habiskan fasa pertama, tak kira macam mana pun. Nanti isu ni basi,” tegas Haikal sambil membetulkan kopiah di kepalanya.

Perbincangan menjadi semakin lanjut sehingga jam 2 pagi. Masing-masing kelihatan penat dan tidak mahu melanjutkan perbincangan di kedai kopi. Begitu juga Haikal. Esok pagi dia terpaksa memenuhi permintaan anak usrahnya yang menjemputnya untuk memberi pengisian kuliah Subuh di sebuah surau berdekatan dengan tempatnya belajar dahulu.

Keesokan harinya, Munirah bangun dari tidur dan mendapati suaminya tiada di sisi. Terasa kekosongan di hatinya akibat jadual si suami yang sentiasa penuh mengisi aktiviti-aktiviti luar. Munirah bangun dari katil, lalu bersiap untuk mengemas rumah dan membasuh pakaian. Terasa di sudut hatinya sedikit kecewa dengan sikap suaminya yang terlalu sibuk.

Jam dinding menunjukkan pukul 9 pagi. Tiba-tiba Munirah terdengar suaminya memberi salam dari pintu hadapan rumah. Segera dia membuka pintu tersebut dan menyambut beg kecil yang disandang Haikal. Haikal melabuhkan tubuhnya di atas kusyen, melepaskan penat sambil membelek catatan mesyuaratnya malam tadi. Selang beberapa ketika, Munirah menghulurkannya segelas air untuk diminum.

“Abang, malam tadi Mun jumpa hadiah yang paling bermakna dari abang kepada Mun,” senyum si isteri sambil duduk bersimpuh di hadapan suaminya itu.

Haikal meneguk air lalu meletakkan gelas tersebut di sisinya.

“Hm?” dengus Haikal memberikan isyarat supaya Munirah memberi penjelasan.

Munirah tersenyum lalu mencapai kertas berbalut plastik di sebelahnya. Kertas tersebut dihulurkan kepada suaminya yang tercinta. Haikal membalikkan kertas tersebut, lalu terdiam setelah melihat catatan di dalamnya.

“Apa maksud Mun?” tanya Haikal tanpa membaca keseluruhan isi kandungan kertas tersebut.

“Mun faham tanggungjawab abang. Mun faham abang sibuk sebab kerja-kerja da‘wah,” senyum si isteri semakin lebar.

“Lepas baca cerpen ni?” soal Haikal sambil mengangkat sedikit kertas yang digenggamnya itu.

Munirah mengangguk sedikit.

Tiba-tiba Haikal membuka plastik kertas tadi lalu mengoyak-ngoyak cerpen tersebut dengan perlahan.

Munirah terkesima. Mulutnya sedikit ternganga melihat kelibat suaminya. Hatinya luluh, seolah-olah yang dikoyak oleh suaminya itu adalah jiwa dan perasaan Munirah. Hatinya terasa sejuk, kelopak matanya bergenang air mata dengan pantas.

Haikal segera menggapai tangan isterinya.

“Mun, ini hanya cerpen Mun. Jangan terlalu mengagung-agungkannya,” sayup suara Haikal menusuk kalbu Munirah.

“Tapi abang kan yang tulis? Abang kan yang hadiahkan cerpen ni buat Mun?” suara Munirah serak basah, tersekat-sekat.

“Abang tulis bukan untuk dihurai atau dihayati sehingga realiti dunia ditolak ketepi,” sambung suaminya.

“Dulu ramai puji abang sebab berjaya menyentuh hati para penda‘wah dengan cerpen ni. Tapi apa yang jadi? Mereka hanya nampak kebahagiaan bila berumahtangga dengan orang-orang jemaah. Mereka hanya nampak kebahagiaan bila si suami atau isteri berda‘wah. Lepas kahwin? Apa yang terjadi?” soal Haikal lemah-lembut sambil mengusap-ngusap tangan si isteri tercinta.

Munirah diam seribu bahasa. Dia sedar, kesibukan suaminya berda‘wah di luar adalah disebabkan para penda‘wah kampus dahulu aktif di dalam kampus, langsung meninggalkan gerak kerja da‘wah setelah keluar dari kampus. Ilmu yang mereka peroleh di dalam usrah langsung tidak dihayati dan dimaknai dalam kehidupan seharian. Sehingga isu-isu akidah dan syari‘ah saban hari menekan jiwa para penda‘wah sepenuh masa seperti suaminya itu.

“Kebahagiaan bukan terletak dalam cerpen ni Mun, tapi ayat di bawah ni,” Haikal meletakkan jari telunjuknya di barisan terakhir cerpen tersebut. Tepat di atas terjemahan ayat al-Qur’ān.

Air mata Munirah semakin deras membasahi pipinya. Dipeluknya Haikal bagi menenangkan hatinya yang selama ini kabur tentang makna kebahagiaan berumahtangga dengan penda‘wah.

“Abang tulis cerpen ni hanya sebagai simbolik zaman ini dalam menghayati ayat al-Qur’ān ni. Tapi, ramai yang kagum dengan cerpen, langsung tidak mengendahkan apa yang dimaksudkan dengan kata-kata Allah SWT kepada hamba-hambanya,” suara Haikal semakin serak, dadanya terasa sempit.

“Tidak ada cerpen terbaik selain KalamuLlah, sayang,” kata-kata Haikal tersebut menyebabkan Munirah memeluk suaminya dengan lebih erat lagi. Tangisannya semakin kuat.

Selang beberapa lama, tangisan Munirah semakin reda. Dia sedar, realiti sebenar kehidupan bukanlah terletak kepada keindahan karangan manusia, tetapi tertakluk mutlak kepada ‘karangan’ Allah SWT. Dia sedar, hidupnya di dunia ini hanyalah pinjaman sementara, suaminya juga hanyalah pinjaman buat dirinya berkongsi rasa. Hanya Allah SWT Pemilik mutlak diri suaminya.

Munirah terasa kelegaan yang luas di dadanya. Kesyukuran memenuhi di setiap sudut hatinya dijodohkan dengan suami sehebat Haikal.

“Mak, nak buang tak sampah ni?” tanya Hakim, anak sulung Munirah dan Haikal yang berumur hampir 5 tahun selepas makan tengahari.

“Buang la. Dah penuh dah tu bakul tu,” jawab Munirah.

“Yang ni sekali?” tanya anaknya lagi sambil menarik keluar secebis kertas dari bakul tersebut.

Munirah mengangguk yakin, sambil tersenyum sedikit.

Hakim membelek-belek cebisan kertas tersebut. Dicantumkannya satu persatu mengikut susunan garis yang dikoyak. Disusunnya di atas lantai. Lalu dibacanya perkataan di atasnya satu persatu.

“Sepahit Madu?” bisik benak Hakim membaca tajuk di kertas tersebut.